Senin, 09 November 2009

LEMBAGA KEMASYARAKATAN

A. PENGERTIAN
Istilah lembaga kemasyarakatan , merupakan terjemahan yang langsung dari istilah asing “social-institution”. Akan tetapi hingga kini belum ada kata sepakat mengenai istilah Indonesia apa yang dengan tepat dapat menggambarkan isi “social institution” menunjuk pada adanya unsure-unsur yang mengatur prikelakuan para anggota masyarakat.
Istilah lainnya yang di susulkan adalah bangunan-sosial yang mungkin merupakan terjemahan dari istilah “Soziale-Gebilde” (bahasa jerman), istilah mana lebih jelas menggambarkan bentuk dan susunan “social institution” tersebut. Tepat tidaknya istilah-istilah tersebut , tidak akan di persoalkan di sini: akan tetapi dalam dalam tulisan ini, akan di pergunakan istilah lembaga kemasyarakatan, oleh karena pengertian lembaga, lebih menunjuk pada sesustu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian-pengertian yang abstrak prihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi cirri daripada lembaga tersebut.namun di samping itu kadang-kadang juga di pakai istilah lembaga social.

Untuk memberi batasan, dapatlah di katakan bahwa lembaga kemasyarakatan merupakn himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok I dalam kehidupan masyarakat. Wujud yang kongkrit daripada lemaga kemasyarakatan tersebut adalah association. Beberapa sosiolog lainnya, memberikan definisi lain, seperti misalnya Robert Mac Iver dan Charles H. Page, mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai tata-cara atau prosedur yang telah di ciptakan untuk mengtur hubungan antar manusia yang berkelompok dalam sutu kelompok kemasyarakatan yang dinamakannya association. Leopold Von Wiese dan Howard Becker, melihat lembaga kemasyarakatan dari sudut fungsinya. Lembaga kemasyarakatan di artikan sebagai suatu jaringan daripada proses-proses hubungan anar manusia dan antar kelompok manusia yangberfungsi untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya,sesuai dengan kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.
Seorang sosiolog lainnya, yaitu Sumner yang melihatnya dari sudut kebudayaan, mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan perlengkapan kebudayaan, yang mempunyai sifat kekal serta yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pentingnya adalah agar ada keteraturan dan integrasi dalam masyarakat.

B. PROSES PERTUMBUHAN LEMBAGA SOSIAL KEMASYARAKATAN
1. Norma-norma dalam masyarakat.
Agar supaya hubungan antar manusia di dalam sesuatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan, maka di rumuskanlah norma-norma di dalam masyarakat. Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk terbentuk secara tidak sengaja;namun lama-kelamaan norma-norma tersebut di buat secara sadar.
Norma-norma yang ada di dalam masyarakat, mempunyai keuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma-norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat daya mengikatnya dimana yang menyangkut hal yang terakhir, anggota-anggota masyarakat pada umumnya tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan kekuatan mengikat dari pada norma-norma tersebut, maka secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian, yaitu:
a. Cara (usage)
b. Kebiasaan (folkways)
c. Tata-kelakuan (mores), dan
d. Adat-istiadat (custom)
Cara (usage) menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Norma ini memepunyai kekuatan yang sangat lemah bila dibanbandingkan dengan kebiasaan (folkways); kebiasaan menunjuk pada perbuataan yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama. Cara (usage) lebih menonjol dalam hubungan antar individu dalam masyarakat.
Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada cara. Menurut Mac Iver dan Vage, kebiasaan merupakan perikelakuan yang di akui dan di terima oleh masyarakat. Selanjutnya di katakan oleh mereka bahwa apabila kebiasaan tersebut tidsak semata-mata sebagai cara berperikelakuan saja, akan tetapi bahkan di terima sebagai norma-norma pengatur, maka di sebutkan kebiasaan tadi sebagai mores atau tatakelakuan. Tata-kelakuan sangat penting, oleh karena:
a. Tata-kelakuan mengidentifikasikan individu dengan kelompoknya.
Di satu pihak tata-kelakuan memaksa orang agar menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata-kelakuan kemasyarakatan yang berlaku, dan lain pihak mengusahakan agar masyarakat menerima seseorang oleh karena kesanggupannya untuk menyesuaikan diri. Suatu contoh adalah tindakan-tindakan yang menyimpang, misalnya melakukan kejahatan. Masyarakat akan menghukum orang-orang tersebut dengan maksud agar mereka menyesuaikan tindakan-tindakannya dengan tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat. Sebaliknya akan di jumpai keadaan-keadaan di mana orang-orang yang memberi teladan, pada satu waktu di berikan tanda terima kasih masyarakat yang bersangkutan.
b. Tata-kelakuan menjaga solidaritas antara anggota-anggota masyarakat.
Tata-kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perikelakuan masyarakat, dapat meningakat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat istiadat. Anggota-anggota masyarakat yang melanggar adapt-istiadat, akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara langsung di perlakukan. Suatu contoh adlah misalnya adat-istiadat atau hokum adapt yng melarang terjadinya perceraian antar suami-isteri, yang berlaku pada umumnya di daerah lampung. Di kalangan orng-orang Indonesia pada umumnya, terdapat suatu kepercayaan bahwa kehidupan terdiri dari beberapa tahap yang harus di lalui dengan seksama. Apabila seseorang meningkat untuk menginjak tahap berikutnya, biasanya di adakan upacara-upacara khusus. Norma-norma tesebut, setelah mengalami suatu proses, pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut di namakan proses institutionalization (pelembagaan), yaitu suatu proses yang di lewati oleh suatu norma kemasyarakatan yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lemaga kemasyarakatan. Yang di maksudkan ialah, sehinnga norma kemasyarakatan oleh masyarakat di kenal, di akui, di hargai dan kemudian di taati dalam kehidupan sehari-hari.
Proes – pelemgaaan sebenarnya tidak berhenti demikian saja, akan tetapi dapat berlangsung lebih jauh lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya menjadi institutionalized dalam masyarakat, akan tetapi menjadi internalized. Maksudnya adalah suatu taraf perkembangan di mana para anggota masyarakat dengan sendirinya ingin berperikelakuan sejalan dengan perikelakuan yang memang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan perkataan lain, norma-norma tadi telah mendarahdaging (=internalized).
2. sistim pengendalian sosial (social control)
Di dalam percakapan sehari-hari, sistim pengendalian sosial atau social control seringkali di artikan sebagai pengawasan oleh masyarakat terhadap jalannya pemerintahaan, khususnya pemerintah beserta aparaturnya.memang ada benarnya bahwa pengendalian sosial berarti suatu pengawasan dari masyarakat terhadap jalannya pemerintahan. Akan tetapi arti yang sebenarnya dari pengendalian sosial tidaklah terhenti pada pengertian itu saja. Arti yang sesungguhnya dari pengendalian social adalah jauh lebih luas, oleh karena pengertian tersebut mencakup segala proses, baik yang di rencanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Jadi pengendalian sosial dapat di lakukan oleh individu terhadap individu lainnya (misalnya seorang ibu mendidik anak-anaknya agar menyesuaikan diri terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku) atau mungkin di lakukan oleh individu terhadap suatu kelompok sosial (umpamanya, seorang dosen pada Perguruan Tinggi memimpin beberapa orang mahasiswa di dalam kuliah-kuliah kerja). Seterusnya pengendalian sosial dapat di lakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya, atau oleh suatu kelompok terhadap individu. Itu semuanya merupakan proses pengendalian sosial yang dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walaupun seringkali manusia tidak menyadari.
Dengan demikian pengendalian social terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Atau, suatu sistim pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan.
Suatu proses pengendalian sosial dapat di laksanakan dengan b erbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coercive). Cara mana yang sebaiknya di terapkan sedikit banyaknya juga tergantung pada faktor terhadap siapa pengendalian sosial tadi hendak di perlakukan dan di dalam keadaan yang bagai mana. Di dalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan yang tentram, maka cara-cara persuasive mungkin akan lebih efektif daripada penggunaan paksaan. Hal ini di sebabkan oleh karena di dalam masyarakat yang tentram bagian terbesar dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga di dalam diri warga masyarakat.
3. macam-macam lembaga sosial
Dr. koentjaraningrat membagi lembaga sosial menjadi delapan macam:
1. Domestic instutions (kekerabatan)
2. Economic instutions (Mata pencarian kehidupan)
3. Scientific institutions (kebutuhan ilmiah manusia)
4. Education institutions ( kebutuhan pendidikan)
5. Aesthetic and recreational institutions (rasa keindahan dan rekreasi)
6. Regilius institutions ( kebutuhan agama).
7. Political institutionsn (kebutuhan kelompok).
8. Cosmetic institutions (kebutuhan jasmaniah).

Tidak ada komentar: