Selasa, 10 November 2009

globalisasi dan nasionalisme di Indonesia

Pada saat krisis ekonomi mulai terasa di Indonesia tahun 1997, banyak pihak yang meyakini bahwa penyebab semua krisis ekonomi tersebut adalah para spekulan mata uang kelas dunia. Ada juga pihak yang meyakini bahwa ini semua adalah akibat ulah kapitalisme global yang konon menurut beberapa analis, memiliki skenario yang sangat hebat untuk mempermainkan kondisi ekonomi suatu negara, apalagi negara yang fundamental ekonominya sangat rapuh seperti Indonesia.
Sebagai kelanjutan dari krisis ekonomi, akhir-akhir ini berbagai berita dan analisis menunjukkan betapa banyaknya aset-aset perusahaan Indonesia yang siap ”dilego” dengan harga murah. Bisa ditebak, siapa peminat utamanya. Betul, para ”pemain” asing. Dengan demikian, lumrah saja banyak kekhawatiran bahwa akan banyak aset-aset di negara ini yang jatuh ke tangan para pengusaha asing. Apa boleh buat, barangkali itu adalah biaya yang harus kita keluarkan akibat ”kebodohan masa lalu” yang menyebabkan krisis seperti ini. Apakah ini juga bagian dari apa yang kita sebut kapitalisme global? Barangkali saja, sulit untuk secara pasti mengatakannya. Tetapi jika melihat dari gejala-gejalanya, bisa jadi sinyalemen tersebut benar.

Akhirnya muncul pertanyaan di benak kita, apakah globalisasi juga berperan dalam menyebabkan krisis ekonomi suatu negara? Apakah globalisasi itu membawa perbaikan kepada kehidupan kita atau malah sebaliknya, membawa kita ke jurang keterpurukan? Apakah pembelian aset-aset perusahaan Indonesia oleh para pengusaha asing serta mengharapkan ”belas kasihan” pihak luar, seperti IMF akan membawa negara ini keluar dari krisis ekonomi ? Atau kita sebetulnya melakukan ”kebodohan” lagi yang dampaknya akan kita rasakan di masa datang? Pertanyaan ini memang tidak mudah untuk dijawab, tetapi yang jelas berbagai pemikiran muncul untuk mengkritisi globalisasi tersebut.
Apa pun yang terjadi dengan globalisasi itu, ada sesuatu yang sangat mutlak menjadi pekerjaan besar kita bersama dalam berbangsa dan bernegara. Yaitu, menyusun agenda supaya kita mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Berbagai ”kebodohan masa lalu” membuat kita mulai merasa asing di negeri sendiri. Untuk itu, dibutuhkan suatu keberanian dan terobosan, mulai dari tingkatan konseptual sampai dengan implementasi.
Berbagai argumen menyatakan, bahwa suatu bangsa tidak akan pernah mencapai suatu keunggulan kompetitif selama masyarakatnya tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Selama pengusaha asing yang menguasai dunia bisnis di Indonesia, maka selama itu pula bangsa ini tidak akan memiliki keunggulan kompetitif.
Keraguan
Paul Hirst dan Grahame Thompson dari Open University di Inggris dalam buku mereka Globalization in Question mengungkapkan keraguan mereka terhadap konsep globalisasi ini. Bisa jadi mereka tidak termasuk ke dalam mainstream academia atau termasuk ”akademisi luar jalur utama”. Menurut mereka, tidak ada model ekonomi global baru yang telah diterima secara umum dan sangat berbeda dari model ekonomi internasional sebelumnya. Kenyataan berikutnya menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tetap terpusat di Amerika Utara, Eropa, dan Jepang, dan mereka memiliki kekuatan untuk mengatur dan mengendalikan ekonomi dunia.
Berdasarkan analisis Hirst dan Thompson, kita dapat menyimpulkan bahwa sebetulnya makna dari globalisasi itu sendiri masih kabur. Yang menjadi kekhawatiran utama kita adalah, apakah globalisasi itu berarti kita dipermainkan oleh pelaku ekonomi di Amerika, Eropa, dan Jepang ? Jika kita perhatikan analisis Hirst dan Thompson, bisa jadi demikian.
Anthony Giddens dari London School of Economics di Inggris, kelihatannya lebih netral dalam memandang globalisasi. Giddens dalam bukunya Runaway World mengungkapkan ada dua pandangan mengenai globalisasi, yaitu pandangan kaum skeptis dan kaum radikal. Menurut pandangan skeptis, semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong, dan tidak akan membawa kesejahteraan kepada negara-negara berkembang dan terkebelakang, dan hanya akan menguntungkan negara-negara maju di Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Sedangkan kaum radikal berpandangan bahwa globalisasi ini sangat nyata pengaruhnya di dalam kehidupan saat ini. Globalisasi ekonomi, teknologi, kebudayaan, informasi, dan sebagainya, juga sangat nyata. Masyarakat juga dapat memandang dunia ini demikian sempit dan dapat memperbandingkan sendi-sendi kehidupan dengan dunia luar.
Hanya saja Giddens tidak mengungkapkan dengan jelas keuntungan yang diperoleh oleh negara-negara berkembang dan terbelakang sehubungan dengan globalisasi. Berbeda dengan Hirst dan Thompson yang mengungkapkan betapa negara-negara berkembang dan terbelakang menjadi permainan dari negara-negara maju. Kalau begitu, terasa sangat wajar apabila globalisasi sendiri harus kita sikapi dengan kritis dan cermat.
Agenda Penting
Kita banyak mendengar berbagai kegiatan yang meragukan globalisasi. Semangat nasionalisme ternyata muncul sebagai suatu bentuk ”perlawanan” atau antitesis terhadap globalisasi yang masih meragukan tersebut. Beberapa waktu yang lalu muncul ajakan dari pihak-pihak tertentu untuk memboikot berbagai produk Amerika. Bahkan saya menerima ajakan ini dalam bentuk e-mail berkali-kali. Setelah saya amati lingkungan sekitar saya, ternyata ajakan tersebut sangat tidak realistis. Terlalu banyak produk-produk dari Amerika di seputar kehidupan kita. Tetapi walaupun demikian, ajakan tersebut menanggambarkan suatu bentuk keinginan untuk tidak bergantung kepada pihak luar dan mampu berdiri di kaki sendiri. Semangat ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Bung Karno.
Menurut hemat saya, globalisasi baru bisa diterima oleh berbagai pihak di dunia apabila setiap negara memiliki keunggulan kompetitif. Suatu negara yang tidak memiliki keunggulan kompetitif, biasanya cenderung bersikap protektif. Jepang memiliki keunggulan kompetitif dalam industri otomotif. Dengan demikian, Jepang tidak merasa perlu untuk memproteksi industri otomotifnya karena mampu bersaing dan tidak takut kehilangan pasar di dalam negeri. Ini sangat berbeda dengan proyek mobil nasional yang pernah dicanangkan di Indonesia beberapa waktu lalu. Proyek mobil nasional tersebut jelas-jelas sangat protektif, dan kelihatannya tidak begitu diminati oleh konsumen Indonesia sendiri.
Tetapi di sisi lain, kondisi ini juga kontradiktif. Jika proteksi tidak dilakukan, maka berbagai upaya suatu negara untuk membangun keunggulan kompetitif bisa jadi dihabisi oleh negara-negara yang telah maju.
Ambil contoh keinginan Indonesia untuk membangun mobil nasional. Jika proyek mobil nasional ini tidak diproteksi, maka pasti akan gagal dan dihabisi oleh pemain-pemain otomotif asing yang berkepentingan dengan pasar Indonesia. Di sisi lain, jika fasilitas proteksi itu terus dilakukan maka akan membuat industri mobil nasional menjadi manja dan tidak pernah bisa kompetitif. Dengan demikian, proteksi harus dilakukan sebagai suatu affirmative action atau keberpihakan sementara pemerintah dengan memberikan berbagai fasilitas untuk proteksi, tetapi dalam jangka waktu terbatas.
Dengan demikian, menurut pendapat saya ada beberapa agenda penting yang harus dilakukan untuk menghadapi globalisasi ini. Pertama, harus ada grand strategy dari pemerintah untuk membangun keunggulan kompetitif bangsa. Jika keunggulan kompetitif ini tidak pernah terbentuk, maka selama itu pula kita tidak akan pernah diperhitungkan di percaturan dunia. Proses membangun keunggulan ini membutuhkan proteksi. Jika tidak dilakukan proteksi, maka kita akan menjadi permainan negara-negara maju. Jika dilakukan proteksi, maka kita akan tersisih dan semakin tertinggal. Lihat saja permohonan Malaysia dan Filipina untuk menunda pelaksanaan AFTA. Ini adalah suatu bentuk ketidaksiapan dan masih membutuhkan proteksi.
Kedua, pemerintah harus menyusun suatu affirmative action dalam bentuk pemberian proteksi kepada berbagai industri strategis supaya dapat berkembang dengan baik, dan tidak dihabisi oleh pihak-pihak asing yang merasa terganggu. Tetapi sekali lagi, ini hanya bersifat sementara dan akan memaksa pelaku-pelakunya untuk segera menanamkan sikap profesional dan tidak manja. Yang sering terjadi sekarang adalah proteksi yang berlebihan tanpa batas waktu sehingga tidak mencapai keunggulan apa pun.
Ketiga, mengembangkan sikap kritis terhadap globalisasi. Sikap latah yang menerima globalisasi secara salah dan ”berkiblat” kepada pihak asing sudah harus ditinggalkan. Saya sendiri termasuk pihak yang kritis terhadap globalisasi, tetapi tidak menolaknya asalkan diiringi dengan berbagai agenda untuk membangun keunggulan kompetitif bangsa.
Keempat, menempatkan semangat nasionalisme pada posisi yang benar. Nasionalisme tidak dapat diartikan secara sempit. Nasionalisme harus didefinisikan sebagai suatu upaya untuk membangun keunggulan kompetitif, dan tidak lagi didefinisikan sebagai upaya untuk menutup diri dari pihak asing seperti proteksi atau semangat anti semua yang berbau asing. Menurut pandangan saya, profesionalisme adalah salah satu kata kunci dalam upaya mendefinisikan makna nasionalisme saat ini. Dengan demikian, nasionalisme harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme.
Kelima, mendefinisikan ulang makna pribumi atau bumiputra. Kita harus menembus sekat-sekat pribumi dan non-pribumi. Sekat ini menjadi sangat berbahaya jika terus ”dipelihara”, karena dikotomi pribumi dan non-pribumi akan menempatkan non-pribumi sebagai ”pihak asing”. Padahal mereka juga warga negara Indonesia. Sejalan dengan semangat nasionalisme yang kita perbarui pada agenda keempat di atas, maka istilah pribumi atau bumiputra harus diberi makna sebagai mereka yang memiliki kewarganegaraan Indonesia, serta berjuang untuk Indonesia tanpa melihat asal-usul.

Penutup
Ternyata hukum aksi-reaksi memang dapat terjadi di dalam berbagai fenomena alam, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Arus globalisasi mendapatkan antitesisnya yaitu nasionalisme. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Nasionalisme masih relevan asalkan diletakkan pada posisi yang sebenarnya dan tidak disalahartikan. Nasionalisme juga harus dilengkapi dengan sikap profesionalisme dan menghancurkan sekat pribumi dan non-pribumi. Jika ini dilaksanakan, maka kita hanya membutuhkan proteksi dalam bentuk affirmative action dalam waktu yang tidak lama. Menurut pandangan saya, inilah agenda penting yang harus kita lakukan untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri di era globalisasi.

Tidak ada komentar: